sebuah monolog
Rasam Yang Sudah Padam
(SEBUAH MONOLOG)
Karya : Rahmi Suryati
LIMA TAHUN LALU DIDALAM SEBUAH
RUMAH SEDERHANA, HARI TERASA BEGITU PANJANG, JARUM JAM BERPUTAR SANGAT LAMBAT,
TIAP DETIK NYA DIIRINGI DENGAN RASA TAKUT YANG TERUS MENYIKSA DIRI. BAYANGAN
ITU HADIR, KETIKA RINDU MULAI MENGHAMPIRI, SEPERTI MEMUTAR FILM DIDALAM
IMAJINASI. HITAM PUTIH, NAMUN MASIH TERBAYANG JELAS BAGAIMANA HANGAT DAN DINGIN
NYA SUASANA DIKALA ITU.
Saat langit mulai bewarna jingga, tandanya langit sebelah
barat mulai menarik mentari, dengan diiringi nada shalawat yang terdengar dari masjid. Keadaan didalam rumah
hening, semua masuk kedalam kamar nya masing-masing, sambil memikirkan tentang
bagaimana nanti. Aku pun terus merasa gelisah, pikiran ku mulai kacau, setiap
kali maghrib tiba, rasa ini terus hadir
dan sudah menjadi kebiasaan.
Ketika suara langkah sandal kayu mulai memantul diatas
keramik, suaranya masuk ke dalam kamar,
dan kembali keluar. wad, yan, ma, mi, yad.
Lengkap sudah nama kami dipanggil, dari yang paling besar sampai si kecil. kok pada ngumpat? ga ke masjid? tanya Ayah. Aahh benar dugaan ku, pasti
sebentar lagi Ayah memanggil kami, ku rasa Ayah pun tahu, kalau kami sedang
ketakutan, atau mungkin Ayah kesal karena sikap kami. Iyaa,
yah jawab kami serempak, langsung keluar dari kamar.
Kami berjalan keluar dari rumah menuju masjid. Ayah berjalan didepan, bersama
Riyad si bungsu juga bang Aswad, dan aku bersama Rahma juga Kakak Yani
mengikuti dari belakang dengan mukena yang sudah dipakai. Ku lihat tetangga
yang masih sibuk dengan urusan nya masing-masing.Tetangga yang melihat kami,
langsung melemparkan senyuman. Entah, aku merasa senang dan bangga saat berada dijalan,
karena menurutku, jarang sekali orang yang pergi ke masjid bersama keluarganya ,
kecuali ketika ingin shalat Ied.
ADZAN PUN MULAI BERKUMANDANG. AKU BERJALAN MENUNDUK, MELIHAT LANGKAH
SENDIRI. KADANG MELIHAT LANGIT DENGAN BURUNG-BURUNG YANG TERBANG BERKELOMPOK
MENGHIASI CAKRAWALA DI KALA SENJA SAAT ITU. INDAH MEMANG, NAMUN HATI TERUS
MERASA GELISAH, KARENA TAKUT YANG TAK KUNJUNG USAI. KU RASA RAHMA DAN KAKAK
YANI PUN MERASAKAN HAL YANG SAMA.
Setelah pulang dari masjid, kami pun berjalan beriiringan kembali. Kali ini
Ayah mengambil tangan ku, bergandengan. Rahma tak mau kalah, ia pun menggenggam
tangan Ayah disebelah kiri, dan Kakak Yani berjalan disampingku. Kami berjalan
sambil tertawa. Tiba-tiba Ayah megeluarkan suara, Maa Dzaa Tafngal, al an? tanya Ayah menggunakan bahasa arab dengan
senyum nya yang khas, yang artinya apa
yang kalian lakukan sekarang? lagi-lagi benar, Ayah pasti ingin bertanya,
pastinya membuat ku semakin tegang. Semuanya diam, tidak ada yang menjawab
pertanyaan Ayah, jantungku berdebar lebih kencang kali ini, karena pasti nya
ini yang ku takuti. nahnu....?? aku pun mulai mencoba menjawab dengan
gemetar karena tidak tahu. Seketika wajah Ayah berubah, karena kami tak bisa
menjawab.
Setelah sampai rumah, ku bergegas masuk kedalam kamar. Ahh, mana nih buku bahasa Arab nya, kenapa lupa si, baru kemarin. Setelah
kudapati, Ku buka lembaran buku lama yang sudah menguning itu.
Khudzil Kitab Lughatal
Arabiyyah!
Ucap Ayah membuat ku terkejut.
Sebelum ke meja Ayah, ku susul Uni Mila dikamarnya, berharap ia bisa ikut
duduk didepan, agar dapat membantu kami menjawab pertanyaan Ayah. setidak nya
ketika ada uni duduk mengaji bersama kita, perasaan ku lebih tenang. Karena pasti
nya, uni bisa membantu kita untuk menjawab pertanyaan Ayah. Namun uni menolak,
ahh mungkin masa belajar uni sudah habis, mungkin sekarang giliran kami
merasakan pahit nya belajar ini. haha.
KAMI DUDUK MELINGKAR DI MEJA AYAH
YANG BESAR. SEMUA DIAM, HENING. HANYA ADA SUARA GULUNGAN BENANG YANG
MELONCAT-LONCAT DAN SUARA MESIN JAHIT IBU YANG KHAS TERDENGAR DARI SAMPING
RUANGAN TEMPAT KAMI BELAJAR.
Huuft, Kali ini belajar nya dimulai dengan marah lagi. Jantungku terus
berdebar kencang sejak tadi. Ahh kenapa setiap belajar seperti ini. rasanya
tidak adil bagiku. Ketika anak-anak lain mengerjakan tugas sekolah nya, atau sedang bermain dengan teman nya,
atau bahkan sedang menonton TV bersama dengan bantal nya, sedangkan aku harus
duduk dikursi menatap buku dan menatap mata Ayah yang memerah dengan memikir
keras agar dapat menjawab pertanyaan Ayah dengan tepat.
Begitulah sikap Ayah. sangat dingin ketika tanya nya tak bisa dijawab,
terlebih lagi ini tentang pelajaran. Marah bukan main. Namun, hati ku terus
menggerutu, kenapa tiap kali kita salah, Ayah selalu diam? Membuat ku takut
untuk bergerak, dan membuat keadaan didalam rumah ini semakin tegang.
Tidak semua dugaan ku benar tiap kali belajar dengan Ayah. Kali ini aku hanya
sedang berburuk sangka. Ayah memberi kami kertas, yang didalam nya terdapat
percakapan menggunakan bahasa arab tanpa harakat. Kali ini ku lihat Ayah sudah
mengganti wajah nya kembali seperti biasa. Ayah senyum melihat kami kebingungan
melihat kertas yang baru saja diberikanya. Mata ku terus melirik, kadang
melihat kertas kadang melihat mata Ayah.
coba, Ami baca. Bisa gak? Ucap Ayah sambil senyum.
Haduhhh, lagi-lagi Ayah ingin mengetest kemampuan ku. ku coba membaca walau
terbata-bata. Ayah pun memandangku dengan senyum. Senang rasanya bisa membaca, Aku memang menyukai bahasa arab. Tapi
kekurangan ku adalah sulit menghafal kosa kata. Mungkin jika Ayah mengajakku
untuk berdialog lagi, aku akan kehilangan kembali kosakata yang baru saja ku
baca.
Keadaan sudah membaik, rupanya hanya rasa takut ini yang membuat semua
suasana menjadi tegang. Ayah mengajar kami dengan tawa canda. Karena kami bisa
menjawab pertanyaan Ayah dan belajar dengan baik malam ini, jarang sekali kami
selesai belajar pukul setengah sembilan. Biasa nya mungkin sampai jam dua
belas, baru kami dibolehkan untuk kembali masuk kamar, untuk istirahat.
Untung nya tugas sekolah sudah ku selesaikan sejak siang tadi. Malam ini,
aku pun bisa tidur lebih cepat.
SAAT SHUBUH
Wad, yan, ma, mi, yad bangun! Udah siang.
Suara Ayah tidak kencang, namun berhasil menerobos pintu kamar ku. mungkin
sengaja, karena biasa nya Ayah ingin kami bangun sendiri. Ku lihat jam, pukul
lima kurang. Waktu belajar kami dengan Ayah adalah diwaktu maghrib dan subuh.
Kalau kami tidak bisa belajar dengan baik subuh ini, mungkin kami tidak akan
berangkat sekolah karena telat. Kebiasaan buruk karena takut belajar pun datang
diwaktu ini. belajar apa ya nanti? Mudah-mudahan bukan nahwu. Aahh, takut
nih nanti belajar nya marah-marah.
Mudah-mudahan engga deh, kayak tadi malam. Kata-kata itu yang terus memutar
dikepala ku.
Kebiasaan lucu di setiap pagi adalah, ketika kami ingin menghindari belajar
dengan Ayah. Kami mengantri didepan kamar mandi pura-pura sakit perut. Berharap
matahari segera muncul, dan tak perlu belajar karena harus bersiap-siap
sekolah. masing-masing dari kami jongkok dan memegang perut, seolah menahan
sakit, sambil bergumam cepetan udah gak
tahan nih, lama banget sih! Teriak Rahma. Beruntunglah yang kebagian masuk
kamar mandi terkahir, karena bisa mengulur waktu lebih lama. Dan itu aku.
Saat didalam kamar mandi, terdengar suara Ayah, menyuruh kami untuk
mengambil Al-Qur’an. kali ini tidak menggunakan bahasa arab. Ah, ku kira tidak
akan belajar. Ku rasa sudah cukup lama aku berada didalam kamar mandi.saat ku
keluar dari kamar mandi, yang lain sudah duduk dengan tegap didepan Ayah. Ayah
menjelaskan isi Al-Qur’an. Seperti nya tugas kami hanya mendengar kan Ayah
bicara. Seringkali mata ku melirik jam. Waktu menunjukan pukul enam. Ayah belum
juga selesai dengan materi nya. subuh ini Ayah tidak akan marah, tapi pasti nya
kami akan telat berangkat sekolah. setelah setengah tujuh, baru Ayah memboleh
kan kami untuk siap-siap berangkat sekolah. ku bergegas mengganti pakaian.
Yaa Abi, ana adzhabu ila
madrasah al an.
Tafaddal!
Fulusy? karena tidak tahu bahasa arab nya, ku ucapkan saja,
fulusy
Ayah mengambil dompet di saku celana nya. dan menunjukkan kepada ku uang
sepuluh ribu. Yaaaah,tinggal segini nih
duit Ayah. Namun, dari sepuluh
ribu itu, Ayah membagi nya lima. Sudah menjadi hal yang biasa juga, kadang aku
membawa tiga ribu, atau paling besar lima ribu. Uang dua ribu cukup untuk ku membeli
gorengan di kantin.
Tidak jarang air mata ku mengalir saat berangkat sekolah. aku hanya bisa
berdo’a kepada Allah, agar kesulitan ini segera berakhir. Aku ingin semua nya
baik-baik saja. Terbayang saat Ayah tidak memiliki uang sama sekali, sedih
rasanya ketika uang di saku hanya cukup untuk membeli beras setengah liter. namun
Ayah selalu mengajari kami untuk selalu bersyukur. Mungkin pagi ini tidak ada,
barangkali siang nanti kita bisa makan enak. Ayah selalu mengajari kami untuk
selalu meminta sama Allah, agar semua nya dicukup kan.
Saat disekolah, ku lupakan semua beban pikiran ku, ku lupakan masalah
barusan, ku lupakan pelajaran Ayah sejenak. Ku sisakan ruang untuk diisi
pelajaran baru disekolah. Perasaan buruk hadir lagi, aku merasa ingin terus
berlama-lama disekolah, dan berharap bel pulang lebih lama lagi.
SAAT PULANG SEKOLAH, PUKUL DUA SIANG.
Ku pelankan langkah ku, dan berharap sampai rumah nanti, Ayah sedang tidur.
Saat sampai dirumah, rupanya ku lihat Ayah sedang fokus dengan laptop nya
sembari ngobrol dengan ibu. ku cium tangan Ayah dan ibu. tidak langsung masuk kamar,
aku duduk di kursi yang berada disamping Ayah, ngobrol sejenak, setelah itu
baru ke kamar untuk mengganti pakaian.
Rupanya Rahma dan Kakak Yani sudah lebih dulu pulang, dan berada didalam
kamar. Aku dan Rahma memang kembar. Tapi setelah SD, sekolah kami terpisah
karena nilai kami berbeda. Itu sebab nya aku tidak pernah pulang bersama dengan
Rahma.
Setelah mengganti pakaian, ibu memanggil kami bertiga untuk menyiapkan
makan siang. Wah ternyata benar, ibu sudah memasak lauk yang enak. Ada ayam, telor,
sayur juga sambal. Segera kami susun semua nya di tikar. Setelah itu kami makan
bersama, diisi dengan cerita juga canda. Karena nikmat nya makan siang ini,
semua menambah, termasuk Ayah.
Ami gak nambah? Nambah lah biar
gemuk sedikit badan nya. Nih Ayah tutup mata deh, ga liat nih beneran. Buruan nambah,
keburu abis di makan Rahma nanti !
begitulah Ayah menggoda anak nya. aku sangat bersyukur. Benar ucapan Ayah,
mungkin tadi kami bersedih. Tapi, bukan kah Allah maha kaya yang telah mengatur
rizki hambanya? dan maha penyayang kepada hamba nya?
setelah makan kami istirahat. Sambil tiduran, ku kerjakan tugas, agar nanti
malam bisa segera istirahat.
DILUAR GELAP SEKALI, SEPERTI NYA AKAN HUJAN BESAR SORE INI.
saat hujan adalah waktu kesukaan ku. biasanya ibu menyiapkan pisang dan ubi
untuk kami olah menjadi gorengan. Setelah tugas selesai, aku pun langsung
menuju dapur bersama Kakak Yani, aku yang membuat adonan, kakak yani yang
menyiapkan ubi dan pisang nya. kami menggoreng sambil bercerita, sampai isi
dapur penuh dengan suara tawa kami. Udah
ah ketawa mulu, biasa nya abis ketawa nangis nih. Ucapku menyudahi gelak
tawa.
Setelah satu piring siap, aku langsung meletakkan nya di meja Ayah. wahh
senang sekali Ayah melihat gorengan panas ini. Ayah memang sangat menyukai
gorengan. Oleh karena itu, ibu selalu menyediakan bahan mentahnya dirumah.
Semua langsung menyerbu ubi dan pisang goreng. Ibu pun sampai berhenti
menjahit, ikut makan bersama dengan teh hangat. Senang rasanya melihat kumpul
bersama dan makan bersama. Aku pun kembali ke dapur bersama kakak yani
menyelesaikan adonan yang masih tersisa. Mana
lagi yan, mi? Suara Ayah meledek, karena piring yang dimeja sudah kosong.
Rahma pun menyusul ke dapur mengambil gorengan yang sudah siap. ahh cepat
sekali piring kosong berganti. mungkin
karena enak nih buatan kita kak. Kami pun tertawa.
WAKTU MENUNJUKAN PUKUL LIMA SORE. KALI INI TIDAK TAKUT SEPERTI BIASA. HARI
INI SEPERTI TERLIHAT TENANG SEMUANYA. AYAH PUN SEJAK TADI BERCANDA DENGAN KAMI.
SEPERTI NYA BELAJAR KALI INI PUN TIDAK AKAN DISERTAI DENGAN MARAH. SEMOGA.
Kami pun bersiap-siap untuk pergi ke masjid. Ku nikmati harum nya air hujan
yang khas, di setiap jalan yang kami lewati. Setelah pulang dari masjid, kami
pun langsung mengambil Al-Qur’an tanpa Ayah suruh lagi. Seolah sudah sangat
siap, untuk menerima pelajaran baru, termasuk siap untuk ditanya tanya. Ahhh
namun masih ada juga sih rasa takut nya.
Kali ini Ayah menanyakan tentang Nahwu Sharaf. Aahh pelajaran yang menurutku
sangat susah. Pasti kali ini Ayah akan marah karena kami tidak bisa menjawab. Kali
ini kami pindah duduk di tikar, karena Ayah ingin menggunakan papan tulis. Ayah
menulis sebuah kalimat, dan menanyakan kepada kami, apa ini nama nya? kenapa ?
apa ciri-ciri nya? gimana kalau ini? gimana pola nya? tidak ada satupun tanya Ayah
yang mampu kami jawab. Wajah Ayah pun berubah. Saat itu Ayah benar-benar marah,
ketika Ayah menyuruh kami untuk menyebutkan pola kalimat, kami tidak mampu
menyebutkan nya, kami semua menunduk, Ayah terlihat sangat kesal.
Kemarin baru ni Ayah jelasin,
udah lupa aja kalian. Ga ada yang menghapal pola ini satu juga? Kenapa kok
susah banget ngajar kalian ya? dari tadi siang buku ini ga ada yang baca?
Ucap Ayah sambil mengangkat buku. Tangan Ayah terlihat gemetar.
Jadi gak perlu kan ini buku
buat kalian? Yaudah! Seketika
buku setebal dua ratus halaman itu Ayah robek.
Kalian coba lah remehin
pelajaran yang Ayah kasih ini sekarang, sauatu saat nanti kalian yang bakal susah-susah
cari ilmu ini. yang Ayah ajarin ini ilmu agama, gak semua orang beruntung, bisa belajar kayak gini, tau gak?. Kalau
perlu kalian gak usah sekolah, kalau yang diutamain tugas sekolah, dari pada
pelajaran Ayah!
Ucap Ayah dengan gemetar, dan nada yang di tahan. wajah dan mata nya
memerah. Setelah itu, keadaan hening. Kami semua pun menunduk, menangis.
berharap tidak ada marah malam ini, rupa nya keadaan berbalik dari tadi siang. Gak ada yang boleh tidur, sebelum bisa jawab
pertanyaan Ayah! jantungku berdebar kencang, Ayah masuk kedalam kamar. Kami
pun mengumpulkan kertas yang sudah Ayah robek, lalu melekat kan nya kembali
dengan lem. Waktu menunjukan pukul sembilan malam. Kami segera menghafal yang Ayah
perintah kan. Bang Aswad yang sudah mengantuk sejak tadi, riyad yang memainkan
pulpen nya. Rahma dan Kakak Yani yang sibuk dengan catatan nya. waktu terasa
begitu lambat. Ayah tidak juga keluar dari kamar. Sudah pukul setengah dua
belas, kami masih juga menghafal dan mencari jawaban.
Ibu masih memainkan mesin jahitnya, ku rasa memang ibu sedang menunggu,
sampai kami selesai belajar. Beberapa saat kemudian, mesin berhenti dan ibu
mematikan lampu ruangan nya, dan masuk kedalam ruangan tempat kami belajar. Udah malam, tidur lagi, nanti ibu yang
ngomong sama Ayah. Ahh lega rasa nya, kali ini aku bisa meluruskan badan.
Ibu memang sangat tahu, bagaimana perasaan kami. Karena ceritanya, ibu juga
adalah salah satu murid Ayah dulu, waktu muda nya, Ayah sudah menjadi guru
ngaji dikampung halaman nya Padang Panjang. kalau Ayah yang sudah mengajar
tangan kanan nya adalah rotan yang siap menyambar di badan murid nya, begitulah
Ayah mengajar dulu. Jadi ibu tahu betul, bagaimana rasanya diajar oleh Ayah. Cerita
ini kudapati saat sedang membereskan album foto. Terlihat jelas, banyak sekali
murid Ayah waktu dulu, tidak ada yang berani dengan Ayah, karena terkenal akan
tegas nya, namun gak kalah juga sifat penyayang nya, hehe.
Bang Aswad sudah sejak tadi tertidur didepan buku nya, begitupun Riyad.
Baru saja ku tutup buku, sendal bakiak Ayah terdengar lagi, mata ku menjadi
terang lagi, karena takut. Yaudah tidur
lah lagi, lanjut subuh, kalau gak bisa juga, jangan harap kalian bisa berangkat
sekolah!
KARENA SUDAH SANGAT LELAH, AKU PUN MASUK KAMAR DAN LANGSUNG TERTIDUR LELAP.
saat belajar, waktu terasa begitu panjang. Rasanya baru saja memejamkan
mata, Riyad sudah mengetuk pintu kamar ku, tanda waktu sudah subuh. Berat
sekali rasa nya membuka mata, karena bengkak, habis nangis semalam. Setelah itu
langsung ke kamar mandi, shalat subuh, dan langsung duduk dimeja Ayah lagi,
dengan rasa takut yang masih sama. Gumam ku sambil mengumpulkan kekuatan untuk
beranjak dari kasur.
Setelah semua selesai Shalat, kami kembali duduk melingkar di meja Ayah. keadaan
masih sama seperti tadi malam. Waktu terus berjalan. Tanpa sadar, waktu sudah
menunjukkan jam tujuh kurang lima belas menit. Seperti nya kami tidak akan
pergi sekolah hari ini. karena kami belum juga usai belajar. Rupa nya ucapan Ayah
tidak main-main. Padahal kami sudah bisa menjawab pertanyaan Ayah. bagaimana
jika sampai siang kami masih belajar?
Hari itu aku ada tugas drama, aku harus hadir kesekolah untuk mendapatkan
nilai. Aku terus berdo’a agar Ayah mengizinkan kami untuk sekolah. beberapa
saat kemudian, akhirnya Ayah pun membolehkan kami untuk berangkat sekolah.
dengan bergegas kami mengganti pakaian, beruntung sekolah ku dekat. Tidak
dengan Rahma, yang sekolah nya sangat jauh dari rumah. Pasti nya dia akan lebih
telat dari ku. begitupun dengan Kakak Yani dan bang Aswad. Ahh, kami semua
telat berangkat sekolah hari ini.
TERKADANG KITA MERASA SIAP, PADAHAL BELUM TENTU DAPAT SELAMAT, TERKADANG
KITA TAKUT BERLEBIHAN, PADAHAL BELUM TENTU DUGAAN NYA BENAR. RASA KIAN TERPAKU
PADA SATU ARAH. MELUPAKAN SISI LAIN, YANG MENGHADAP KE ARAH YANG SAMA.
Tiap hari berjalan dalam situasi yang sama, kadang belajar dengan tawa dan
canda. Kadang juga belajar dengan air mata. Hari berlalu. Tiada hari yang
terlewat tanpa belajar dengan Ayah. sampai tiba saat nya kami belajar terakhir
kali dengan Ayah. duduk dikursi seperti biasa. membaca Al-Qur’an, lalu Ayah
teruskan dengan menjelaskan makna ayat itu. Ayah terlihat seperti biasa, hanya
saja saat menjelaskan, Ayah sering memegang dada nya. perasaan ku mulai tidak
enak, aku sering melihat ke arah Kakak Yani dengan maksud menanyakan Ayah
kenapa.
Malam itu, tepat pukul delapan malam, adalah waktu belajar yang selesai
lebih cepat dari biasanya. Beberapa saat kemudian, Ayah terbaring lemas di
tikar. Badan nya dingin. Kami tak kuasa menahan tangis, ada apa? Kenapa Ayah?
air mata terus mengalir, bacaan Yasin mengiringi kepergian Ayah.
Yaa, itu adalah malam terakhir. 22 Septemeber 2015. Ayah pergi meninggal
kan kami selamanya. Hari itu aku merasakan cambukan yang sangat pedih sekali,
tangis tak dapat ditahan, ku luapkan semua nya. bagaimana bisa? Bukan kah besok
masih ada pelajaran baru lagi dari Ayah?
Hilang semua nya. kesempatan itu sudah habis. Apa yang bisa ku lakukan
selain menangis? Rasa tidak percaya.
Beberapa hari kemudian, kami berkumpul lagi dimeja biasa kami belajar. Kali
ini Uda Salman yang mengajari kami. ku tahu, uda hanya ingin kebiasaan ini
terus berjalan, yaa walau cahaya nya sudah redup. Namun air mata terus
mengembang. Hanya bayangan Ayah yang terus terlukiskan. Kami sama-sama belum
siap. uda yang mencoba tegar berbicara, seolah sedang bebrbicara seperti Ayah,
untuk kami. Setelah selesai, aku masuk kamar, air mata tak bisa dibendung lagi.
Aku rindu, biar susah belajar sama Ayah, biar marah yang kami dapati setiap
hari, biar rasa takut terus menghantui kami, aku hanya ingin Ayah disini,
kembali duduk dilingkaran dengan segala situasi yang diciptakan. Dengan
kebiasaan yang diciptakan. Tanpa rasa kehilangan.
Kebiasaan itu lama-lama hilang, disisih kan oleh waktu dan watak. Biasa nya
kami selalu ke masjid bersama Ayah. letak masjid itu berada di sebrang gang
rumah kami. Loh Ayah nya mana?kok ga
bareng Ayah nya lagi? Tanya bapak-bapak tua saat kami hendak pulang dari
masjid. Setelah mengetahui kabar itu, bapak itu juga ikut sedih, dan berd’a
untuk Ayah. setelah itu tidak lagi ke masjid.
Meja Ayah pun kosong. hanya diisi siapa saja yang berniat mau ngaji. Makan
pun tidak lagi bersama-sama. Semua nya hilang diseret laku. Ahhh.
Dulu aku selalu mengeluh tentang bagaimana uang jajan ku besok, bagaimana
makan kami besok. Kesulitan apa lagi yang akan kami dapati besok? Hari ini
semua nya terpenuhi, semua nya cukup, bahkan kadang berlebih. Namun gelap,
cahaya nya diambil sebagai barter dari kesusahan. Andai ku boleh memilih. Aku
ingin cahaya itu datang kembali.
Yaa Allah, AKU RINDU.
Komentar
Posting Komentar